Geger di Kripto Bikin “Investor Garis Keras” Bermuram Durja!
Jakarta, cuanonline.org – Pasar kripto mengalami masa yang cukup sulit pada tahun ini, di mana hal ini berbanding terbalik dengan kondisi di tahun lalu.
Pada 2021, kripto mengalami masa ‘emas’ karena investor maupun trader masih banyak yang tertarik berinvestasi di aset digital ini. Bahkan, beberapa menjadi “investor garis keras”, yang memprediksi Bitcoin Cs akan terus meroket.

The Economic Times pada pertengahan tahun lalu menyebut nama, Mark Cuban, Michael Novogratz, hingga Don Morehead sebagai diehard crypto fans. Morehead pada tahun lalu bahkan menyebut harga bitcoin akan mencapai US$ 115.000/koin.
Kripto memang mencatat kinerja cemerlang pada 2021, Bitcoin dan Ethereum, di mana dua koin digital (token) ‘blue chip’ tersebut berhasil mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya atau all time high (ATH) dua kali.
Namun di 2022, keduanya justru berbalik arah dan ambruk. Bitcoin, pada 21 November lalu mencatat level terendahnya sejak November 2020, yakni di US$ 16.291,22.
Pada awal tahun ini, keduanya dan kripto lainnya sudah mulai membentuk tren bearish karena bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) ingin menghentikan kebijakan easy money atau mengubahnya menjadi kebijakan hard money pada tahun ini.
Hal ini dilakukan oleh The Fed untuk membendung inflasi yang sudah mulai meninggi sejak awal tahun ini. Apalagi, inflasi makin panas setelah adanya perang Rusia-Ukraina, akibat harga-harga komoditas yang mengalami kenaikan cukup signifikan.
Namun, kejatuhan kripto bukan disebabkan karena kondisi global, tetapi dampak dari kondisi global tersebut turut mempengaruhi pelaku industri kripto, dalam hal ini perusahaan-perusahaan terkait kripto, baik perusahaan pembuat kripto maupun perusahaan perdagangan kripto atau bursa kripto.
Pada tahun ini, setidaknya ada 3 kasus kejatuhan besar yang turut mempengaruhi pergerakan kripto, di mana dua peristiwa tersebut terjadi tak hanya diakibatkan oleh kondisi makroekonomi global, tetapi juga ada indikasi untuk melakukan penipuan.
Lalu apa saja kejadian terheboh di kripto tahun 2022?, penjelasannya ada pada halaman berikutnya.

Kasus Terra Luna menjadi kasus terheboh pertama di industri kripto pada tahun ini, di mana hal ini disebabkan oleh jatuhnya dua token besutan Terraform Labs yakni Terra Luna (LUNA) dan TerraUSD.
Kejatuhan LUNA dan UST pun berimbas ke aset kripto lainnya, termasuk Bitcoin dan Ethereum.
Sebelum ‘hancur’, token LUNA sempat menyentuh ATH pada April lalu, yakni nyaris US$ 120 per keping, atau tepatnya di US$ 119,18 per keping. Namun pada pertengahan Mei tahun ini, token LUNA ambruk hingga 90%, hanya dalam sehari saja.
LUNA yang sempat dihargai nyaris US$ 120 per keping, ambruk hingga sekitar US$ 0,2. LUNA juga sempat menjadi aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar keenam dengan nilai nyaris US$ 42 miliar.
Kejatuhan LUNA bukan tanpa sebab, token tersebut seperti menjadi ‘tumbal’ dari jatuhnya token UST yang gagal mempertahankan pasaknya di US$ 1. Asal tahu saja, token UST sempat ambruk ke 20 sen dolar, sehingga LUNA pun dipaksa untuk menyelamatkan sister coin-nya, UST, agar kembali ke US$ 1, dengan cara dibakar.
UST berbeda dengan stablecoin lainnya, di mana UST tidak punya aset dasar (underlying asset) berupa uang tunai dan aset lain yang disimpan sebagai cadangan sebagai pendukung tokennya.
UST menggantinya dengan campuran kode kompleks, bersama dengan ‘saudara tokennya’ yang masuk ke dalam kategori altcoin yakni Terra (LUNA), untuk menstabilkan harga.
Secara sederhana, protokol Terra menghancurkan dan membuat unit baru yakni UST dan LUNA untuk menyesuaikan pasokan. Jadi saat harga UST turun di bawah US$ 1, maka bisa dikeluarkan dan ditukarkan dengan LUNA, dengan begitu pasokan UST jadi lebih langka dan harganya bisa naik.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Terraform Labs untuk menyelamatkan keduanya, di mana salah satunya yakni membuat koin baru dengan koin lama dilabeli ‘classic’, sehingga koin baru seakan menjadi ‘nyawa’ baru bagi UST dan LUNA. Tetapi, upaya ini pun juga gagal menarik perhatian investor.
Investor sudah cenderung tidak percaya lagi dengan proyek-proyek yang digarap oleh Terraforms Labs, baik itu membuat koin baru atau upaya lainnya. Bahkan, kejatuhan UST dan LUNA juga dikerapkan oleh aksi penipuan dari sang developer Terraform Labs yakni Do Kwon.
Bahkan, Do Kwon hingga kini masih menjadi buronan dunia dan juga masih aktif di Twitter, di mana dia juga tidak jarang men-tweet terkait kripto. Bukannya menyesal, tetapi Do Kwon justru semakin besar kepala.
Hingga kini, belum diketahui penyebab pasti hancurnya UST dan LUNA. Namun, peranan Do Kwon terbilang cukup besar terkait dengan kejatuhan UST dan LUNA.

Kasus Celsius Network dan Three Arrows Capital (3AC) juga dapat menjadi kasus terhebuh di dunia kripto pada tahun ini. Adapun kasus ini terjadi pada pertengahan tahun ini, tepatnya Juni-Juli 2022.
Sebelumnya, dalam temuan sebuah video yang dipublikasikan saat itu, kepala keuangan perusahaan mengatakan Celsius, bersama dengan perusahaan kripto sejenis lainnya telah melihat penebusan meningkat setelah crash cryptocurrency pertama di awal Mei lalu karena kejatuhan stablecoin Terra, UST.
Bahkan, Celsius juga telah berinvestasi dalam protokol Anchor yang menawarkan return hingga 20% untuk deposit TerraUSD (UST). Saat harga UST jatuh, Celsius menarik lebih dari US$ 535 juta aset kripto dari Anchor.
Dengan hal ini, tentunya krisis Celsius merupakan dampak secara langsung dari kejatuhan Terra, karena Celsius sendiri memiliki eksposur di Terra.
Alhasil, krisis Celsius pun berdampak ke perusahaan lainnya, terutama perusahaan-perusahaan yang menjadi debiturnya.
Pada Oktober 2021, aset Celsius mencapai US$ 25 miliar. Tetapi pada Mei lalu, asetnya turun menjadi US$ 11,8 miliar.
Belum selesai masalah Celsius, krisis kembali menerpa kripto, di mana perusahaan serupa yakni 3AC juga terkena krisis akibat masalah likuiditas, mirip seperti yang dialami oleh Celsius.
Bahkan, 3AC sempat dinyatakan gagal bayar (default) oleh salah satu krediturnya yakni Voyager Digital, sebuah perusahaan broker kripto yang berbasis di New York, AS.
Saat itu, 3AC gagal memenuhi kewajiban pinjamannya senilai lebih dari US$ 670 juta atau sekitar Rp 9,93 triliun (asumsi kurs Rp 14.825/US$) kepada Vogaer.
Adapun secara terperinci, 3AC gagal membayar kembali pinjamannya sebesar US$ 350 juta (Rp 5,19 triliun) dalam bentuk stablecoin USD Coin (USDC) dan sebanyak 15.250 Bitcoin yang dipatok dolar AS dengan nilainya sekitar US$ 323 juta (Rp 4,79 triliun).
Namun, banyak yang mengisukan bahwa masalah 3AC sudah mulai terjadi jauh sebelum krisis likuiditas, di mana tampaknya masalah 3AC dimulai pada awal Juni 2022, setelah Zhu men-tweet yang agak samar bahwa perusahaan sedang “dalam proses berkomunikasi dengan pihak terkait” dan “berkomitmen penuh untuk menyelesaikan masalah ini”.
Ada yang beranggapan bahwa 3AC tersandung krisis likuditas karena 3AC gagal memenuhi margin call saat itu, tetapi ada pula yang beranggapan bahwa penyebab jatuhnya 3AC bukan karena gagal memenuhi margin call, tetapi lebih dari itu.
Bahkan, ada isu bahwa 3AC juga memiliki eksposur Terra, sehingga kejatuhannya juga dampak langsung dari hancurnya token dan ekosistem Terra.

Beberapa bulan setelah kejadian Celsius dan 3AC, dunia kripto belum usai dilanda cobaan. Pada awal hingga pertengahan November 2022, menjadi awal mula terjadinya krisis FTX dan memicu ‘longsor’ untuk ketiga kalinya di pasar kripto.
Awal mula krisis likuiditas yang membuat heboh dikalangan investor adalah berasal dari situs berita kripto, CoinDesk pada 2 November lalu melaporkan adanya kebocoran balance sheet Alameda Research, perusahaan afiliasi FTX yang sangat bergantung pada token utilitas FTX, yakni FTX Token (FTT).
Alameda tidak hanya memiliki banyak FTT di neraca, tetapi juga telah menggunakan FTT sebagai jaminan pinjaman. Eksekutif menyangkal hal ini dan mengatakan itu melukiskan gambaran yang tidak lengkap yang tidak mencerminkan lindung nilai (hedging) yang mengimbangi pertukaran yang ada.
Beberapa hari setelah kabar tersebut tersebar, FTT senilai US$ 584 juta ditransfer ke bursa kripto Binance sebagai bagian dari proses likuidasi. CEO Binance Changpeng Zhao kemudian menegaskan ini adalah langkah yang disengaja. Hal tersebut memicu penarikan FTT besar-besaran.
Di tengah kisruh ini, Caroline Ellison, CEO Alameda menuliskan di akun Twitter-nya menawarkan untuk membeli kembali FTT dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Dia juga men-tweet bahwa Alameda Research memiliki aset US$ 10 miliar yang tidak dilaporkan dalam neraca yang bocor.
Kemudian pada 7 November lalu, harga FTT terus menurun dan Alameda mulai menjual token Solana (SOL) untuk menjaga harga FTT di atas US$ 22 per keping.
Sementara itu, Zhao menjual FTT untuk membeli token Binance (BNB). FTX hentikan penarikan aset, namun CEO FTX, Sam Bankman-Fried (SBF) menyatakan jika FTX masih baik-baik saja, aset-aset juga baik-baik saja, yang saat ini tweet-nya sudah dihapus.
Pada Selasa pekan lalu, penurunan FTT makin tak terhindarkan akibat penarikan besar-besaran oleh trader yang memegang token tersebut. Pada akhirnya FTT anjlok 72%.
SBF kemudian meminta bantuan pada Zhao dan pemilik Binance tersebut mengatakan akan mengakuisisi FTX namun perlu melakukan due diligence lebih dulu.
Dua hari kemudian, Binance pun mengurungkan niatnya untuk mengakuisisi FTX, karena Zhao menilai masalah FTX terlalu besar untuk diatasi. Mulai dari sini, regulator Amerika Serikat (AS) dilaporkan mulai menyelidiki FTX karena masalah likuiditas dan dugaan penyelewengan dana.
Alhasil, setelah Binance batal mengakuisisi FTX, pasar merespons negatif dengan melepas kepemilikannya di kripto, termasuk di Bitcoin dan Ethereum, yang membuat harganya kembali merana, setelah sempat pulih.
SBF pun mengumumkan bahwa Alameda akan menghentikan perdagangan pada hari Kamis sebagai upaya untuk menyelamatkan FTX. Namun, SBF belum menyerah dan masih berusaha untuk mencari cara untuk meningkatkan likuiditas.
Tetapi bagaimanapun, krisis FTX memang sudah sulit untuk ditanggulangi dan terancam dilanda kebangkrutan. FTX masih membutuhkan dana sekitar US$ 9,4 miliar. SBF dilaporkan dalam pembicaraan untuk mengumpulkan uang dari pertukaran saingan OKX dan penerbit stablecoin Tether (USDT).
Dia juga mencari suntikan dana dari investor FTX saat ini, termasuk Sequoia Capital. Dia berhasil mencapai kesepakatan dengan Justin Sun, pendiri jaringan blockchain Tron, untuk memungkinkan pemegang token terkait Tron menarik kepemilikan mereka dari FTX.
Pada 11 November, FTX pada akhirnya mengajukan kebangkrutan Chapter 11. Manajemen FTX juga mengumumkan bahwa SBF mengundurkan diri sebagai CEO. Kini SBF tengah menghadapi serangkaian sidang atas dugaan penyebab krisis yang terjadi di FTX dan Alameda.